Postingan

Terimakasih Tuhan

Sejak hari itu, aku putuskan untuk hiatus dari dunia perkuliahan. Yang belum baca, biar kita nyambung, yuk mampir dulu,  di sini . Gak kerasa, ternyata aku rehat cukup lama. Satu bulan lebih; rebahan, scroll instragram, buka tutup whatsapp. Repeat 🔁 Kebayang ga kaya apa? Wkwk Bosen banget gak sih? Pasti. Aku nyoba cari inspirasi dapetnya malah amunisi. Tau lah ya di rumah, perut sejahtera terus. Sampe akhirnya, liat temen udah ujian komprehensif, denger-denger ada yang mau sidang munaqasyah juga bulan depan. Seketika, triiing, "Wah, gabisa nih kaya gini terus. Kumaha nasib teh? Maenya ek rebahan wae, cik atuh mikir!"   Mau gak mau aku harus pergi, mem-Bandung lagi. Entah karena sugesti atau apa, di rumah tuh bawaannya leha-leha terus. Gak nemu-nemu insight . Susah, mau dipaksa segimanapun tetep gak bisa. Hmmm :'))) (Ohiya, akhirnya aku bertekad untuk ganti penelitian. Walaupun penelitian sebelumnya bisa aku lakuin, tapi aku terlalu pesimis kalo harus lanjut) Kepergian

Menulis, Sebuah Seni Memahami Diri Sendiri

Sebagian orang kiranya pernah berkunjung ke salah satu situs blogger yang satu ini. Terakhir, readers tertinggi mencapai 60 orang (secara berangsur-angsur) pada tulisan perdana.  Tulisan terakhir (sebuah gubahan), hanya stuck di tiga orang pembaca.  Saya tidak mungkin menilai orang-orang dengan asumsi bahwa mereka memiliki selera baca yang rendah. Saya paham betul bagaimana kualitas tulisan saya, punya value apa, dan seberapa menarik untuk dibaca.  Kadang, saya tidak peduli dengan jumlah orang yang membaca tulisan saya. Tapi, ada keadaan di mana saya merasa bahwa orang lain perlu membaca ini. Dengan harapan, akan meninggalkan sebuah agreement , kritik atau masukan pada tulisan saya. Dari situ saya bisa belajar lebih banyak lagi.  Kedengarannya terlalu egois ternyata. Akhirnya, saya mencoba untuk menepis perasaan itu sedikit demi sedikit. Hingga saya mencapai batas kesadaran bahwa tidak semua khalayak harus mengambil waktu barang tiga sampai empat menit untuk membaca

Cinta Kita

Karya Prof. H. Nadirsyah Hosen, PH.D  digubah oleh Eva Agustina Jayati Inilah cerita kita seperti Surah Al-Qashas. Kamu Surah An-Najm dan aku Surah Al-Buruj. Kumpulan bintang senantiasa tersenyum melihat tulusnya cinta kita. Meski kadang, kamu protes bagai Surah Al-Mujadilah. Tetapi segera hening, ketika surah Ar-Rahman yang kubaca memeluk dan memadamkan bara di hatimu. Ujian kehidupan selalu ada, bagai Surah Al-Mumtahanah. Tetapi, Surah As-Sajdah membawa kita untuk sujud bersama kepada Sang Maha Cinta. Jadi, jangan pernah bermuka masam seperti Surah 'Abasa, kasihku. Jadilah Surah Al-Insyirah yang selalu berlapang dada. Karena, Cintaku dan cintamu adalah bukti yang nyata seperti Surah Al-Bayyinah.  Dan tulus seperti Surah Al-Ikhlas. Cinta kita terus merambat naik menuju yang paling tinggi seperti Surah Al-A'la. Angin kencang pun tak sanggup menerbangkannya seperti Surah Adz-Dzariyat. Kamu, percik Surah Al-Fajr. Aku, gemerlap Surah Al-

Happy Sweet17th, boy!

Gambar
17 tahun lalu, lahir seorang laki-laki yang diberi nama Muhammad Gibran. Nama yang keren, seringkali disebut Ibra, Bra, Iib, Ibrahim, Ibrahim Movic, Ibrahima wa Musa. Tapi tak pernah ada yang menyinggungnya dengan Muhammad. Ah, mungkin terlalu berat.  Seorang bayi tumbuh menjadi balita yang cukup menggemaskan, mungkin sangat menggemaskan. Tampan dan chubby. Sasaran empuk bagi orang yang melihatnya. Pernah, ia dipanggil Roger. Sampai sekarang aku bingung, dari mana miripnya.  Terpaut 5 tahun denganku, tidak mudah bagiku untuk bisa menjadi kakak yang baik sejak kecil. Tidak bisa menggendong dengan baik -- tidak banyak hal yang bisa kulakukan.  Yang kuingat, ketika ia berusia hampir 7 tahun. Ketika di Madrasah Diniyah, ia merengek minta dituliskan lantaran kelelahan. Wajar, yang harus dicatat memang banyak dan saat itu umurnya terbilang terlalu dini. Aku malah marah, lalu kubilang "maneh nu sakola".  Euwww, kalo dipikir-pikir sekarang. Anak itu terlalu imut untu

Lulus Bukan Hanya Perihal Keinginan, Tapi Juga Tanggung Jawab

Pada titik-titik tertentu, saya pikir, dunia kampus tidak begitu menyedihkan dibandingkan dengan harus menahan lapar padahal tidak sedang puasa.  Banyak hal-hal menyenangkan yang sudah saya lewati sampai sejauh ini. Meskipun saya (sempat) menahan kantuk karena dikejar deadline, (harus) hilir-mudik mencari kelas, menuruti keinginan dosen yang tidak ada habisnya. Dan bukan hanya itu -- tapi tetap saya nikmati. Sampai Tuhan menunjukkan bahwa saya harus meneteskan air mata, merasakan hati yang berkecamuk, dan membiarkan isi pikiran berlalu lalang dengan segala urusannya.  Tugas akhir, sebut saja skripsi. (Mungkin) tak sesulit bagi mereka yang sudah melaluinya. Tidak melemahkan mereka yang sudah siap secara fisik, pikiran maupun mental. Bahkan, tidak serumit yang terpikirkan oleh orang-orang yang sudah menyerah padahal belum memulai. Apa yang membuatnya terlihat dan terasa sangat mencekam? Dihantui dosen killer? Sulitnya menemui dosen yang bersangkutan. Beban tiap

Maaf Tuhan, Aku Belum Pandai Membaca Tanda-tanda

Gambar
Tangisku meledak, ketika seorang teman mendekatiku setelah beberapa lama meneteskan air mata. Tepat di hari Kamis tanggal 12 November 2019, aku dan sembilan belas orang teman sejurusanku melaksanakan satu tahapan untuk meraih gelar sarjana. SEMPRO atau Seminar Proposal. Namun, fakultas kami lebih mengenalnya dengan UP (Usulan Proposal). Pasalnya, proposal yang diajukan dilakukan di ruang tertutup dan tak lekang oleh waktu. Bisa saja, jadwal hari itu berubah menjadi hari berikutnya atau bahkan lusa. Karena melihat padatnya jadwal dosen, tidak ada penawaran, mahasiswa yang harus menyesuaikan.  Hari sebelumnya aku hanya sempat membaca-baca sedikit, meminta doa kepada orang tua, guru-guru, serta orang-orang terdekat agar aku diberikan yang terbaik. Jujur saja, aku selalu memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi nanti.  Esoknya, aku sudah datang sebelum waktu yang ditentukan. Semangat, tentu. Dengan segala kepasrahan, aku hanya perlu memahami apa yang aku tulis. Berdoa

Kuasa-Mu

Gambar
Perjalanan menuju kenduri sang uwa, yang tak kukenal, sebab jarak tak pernah mengundang temu. Tepatnya, di daerah Cinangka, Serang. Untuk pertama kalinya, kunikmati perjalanan melewati TKP pasca Tsunami Selat Sunda. Segenap  keluarga yang terdiri dari 2 uwa, 1 bibi, 2 sepupu, dan ibu serta aku memenuhi mobil itu. Semua penumpang mengatakan, "tingali ka kenca, tah, urut tsunami", sepupu sekaligus menjadi sopir saat itu mengatakan, "bisi baturan aya nu nanya, di mana, terus kumaha kondisi na, tah". Seperti yang dikatakan, pemandangan pesisir pantai meninggalkan bongkahan-bongkahan kayu karna hancurnya bangunan diterpa ombak yang dikendalikan olehNya. Sepupu yang duduk di sampingku berbisik, "aneh gak si, di situ utuh, tapi di sini seberang jalan juga kena, ada yang ga kena sama sekali padahal deket banget sama bibir pantai". Memang, sebelum pulang banyak orang yang mengatakan bahwa tidak semua wilayah terkena tsunami,  seperti dipilih-pilih.  Saat ini,