Maaf Tuhan, Aku Belum Pandai Membaca Tanda-tanda


Tangisku meledak, ketika seorang teman mendekatiku setelah beberapa lama meneteskan air mata.

Tepat di hari Kamis tanggal 12 November 2019, aku dan sembilan belas orang teman sejurusanku melaksanakan satu tahapan untuk meraih gelar sarjana. SEMPRO atau Seminar Proposal. Namun, fakultas kami lebih mengenalnya dengan UP (Usulan Proposal). Pasalnya, proposal yang diajukan dilakukan di ruang tertutup dan tak lekang oleh waktu. Bisa saja, jadwal hari itu berubah menjadi hari berikutnya atau bahkan lusa. Karena melihat padatnya jadwal dosen, tidak ada penawaran, mahasiswa yang harus menyesuaikan. 

Hari sebelumnya aku hanya sempat membaca-baca sedikit, meminta doa kepada orang tua, guru-guru, serta orang-orang terdekat agar aku diberikan yang terbaik. Jujur saja, aku selalu memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi nanti. 

Esoknya, aku sudah datang sebelum waktu yang ditentukan. Semangat, tentu. Dengan segala kepasrahan, aku hanya perlu memahami apa yang aku tulis. Berdoa sebanyak-banyaknya.

Pembukaan dimulai, prosedur sudah disampaikan. Gugup? Ah, jangan diragukan lagi. Sudah tentu, bahkan sejak hari berkas dikumpulkan aku sudah nervous gak ketulungan. Ditambah, aku diuji oleh dua penguji yang salah satunya dikenal dengan dosen killer. Mau mati saja rasanya. Aku mencoba membuang jauh-jauh pikiran negatif tentang beliau.

Bismillah. 
Aku tidak berharap muluk-muluk. Proposalku diterima dengan perbaikan saja sudah alhamdulillah.

Aku dan dua orang lainnya diuji oleh dosen killer yang sama. Menurut penuturan beberapa teman dan kakak tingkat, aku hanya perlu mendengarkan dan menyetujui apa yang beliau sampaikan. Baiklah, akan kulakukan.

Aku, jadi orang terakhir yang diuji oleh beliau. Apa yang terjadi? 

Yang tidak ingin aku pikirkan, ternyata malah jadi ucapan. Dengan segala arahan beliau, terpaksa aku harus menerima bahwa proposalku ditangguhkan. Tidak ditolak apalagi diterima, apa yang aku suguhkan ternyata belum memuaskan. 
Tidak perlu menyampaikan apa-apa lagi, aku hanya perlu tetap stabil dan menahan tangis di hadapan beliau. 

Jauh dari itu semua, aku baru menyadari. Aku belum percaya diri betul, bimbinganku belum cukup. Tiba-tiba ingin mengajukan proposal padahal tulisanku masih berantakan. Ternyata, untuk sekedar siap secara fisik saja tidak cukup. Mentalku terlalu lemah hanya untuk sekadar tidak diberi tanda tangan.

Semangat dari sana sini bukan berarti aku cukup kuat dan siap menghadapi tantangan selanjutnya. Melihat teman-teman yang sudah UP tentu jadi cambuk yang begitu keras bagiku. Tapi, bukan berarti aku harus terburu-buru dengan segala kekuranganku. 

Hmmm, kalo dipikir-pikir kenapa aku harus menangis? Itu memang hal wajar, tutur temanku. Jangankan untuk melangkah lagi, bangkit saja aku masih dalam proses perencanaan. Hehe

Selanjutnya, apa yang harus kulakukan? Aku saja masih kebingungan. Bukankah aku hanya perlu mendiskusikannya dengan Dia? 

Lalu, apakah ini pertanda aku mesti mengakhirinya? Atau justru akan ada kebaikan ketika aku melanjutkannya? Maaf Tuhan, aku belum pandai membaca tanda-tanda. 

Semoga Tuhan segera memberiku petunjuk. Serta orang-orang yang sedang dalam kegalauan. Aamiin 🌈


Terima kasih semuanya. Atas doa dan dukungan yang sudah diberikan. Aku percaya bahwa kesuksesan akan datang di waktu terbaikNya. Ohiya, penguji dua nerima dengan perbaikan. Beliau juga ngasih banyak saran.

Jangan khawatir ya 💋

In frame:
Sania (kepadanya, tangisanku melimpah ruah wkwk)
Dodi (amunisi system haha)
Rohim (Selamat S.Up hihiii)
Kak Wasik (Eva, Eva, ganti judul aja)
Fikri (support system bgt nih)
Sayangnya, cowo-cowo di frame udah punya cemceman. 😂 

Juga, ema dan bapa, temen-temen, kakak-teteh di balik layar, yang sending virtual kiss n hug. 
Thank you n love you all ❤
Doakan terus ya🍃


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pastikan Perjalanan Udaramu Tak Sendeso Saya

Terimakasih Tuhan

Lulus Bukan Hanya Perihal Keinginan, Tapi Juga Tanggung Jawab